Kamis, 04 Mei 2017

Digital Citizenship : The Impact of Social Media on News Literacy




Mewakili Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri NU dalam rangka merayakan Hari Kebebasan Pers Dunia dengan memperluas literasi media dan menjadi jurnlis  yang lebih efektif, pada diskusi yang bertema "Making Sense of the News : What's Fair What's Biased" yang digelar Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia di @america, Jakarta, Selasa-Rabu 2/3 Mei 2017. 

Pada diskusi hari pertama di hadiri oleh Professor Steven Reiner, Stony Brook University, Dede AW, Kompas TV, Endy Bayuni, The Jakarta Post, Iwan Setiawan, Social Media Practitioner.

Profesor dari Stony Brook University di Amerika Serikat, Steven Reiner itu memberikan saran dalam menentukan kebenaran sebuah informasi, atau sumber berita,  ketika menerima sebuah informasi, hal pertama yang harus dipastikan adalah dari mana sumber informasi itu berasal. Kemudian, apakah informasi itu mempunyai bukti, atau validitas yang real dan bagaimana informasi itu disampaikan. 

Bagaimana mempercayai sebuah informasi benar atau tidak? Pertanyaan itu mungkin muncul di pikiran banyak orang di era informasi dan ditigal saat ini.

Media sosial begitu banyak memuat informasi yang begitu memicu pertentangan, berbeda-beda dan provokasi. Lalu yang manakah yang harus dipercaya? 

Kendati demikian, Steven sedikit memberi saran, sebuah kebenaran informasi itu sebenarnya tidak berasal dari media mana pun. Tapi kebenaran itu tergantung dari diri masing-masing individu bagaimana yang bersangkutan menggali lebih dalam dari sebuah informasi atau berita yang diterima. 

"Apakah informasi itu berasal sumber pertama atau kedua. Hal itu penting untuk dicek dalam mempercayai sebuah informasi,"

"Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu luas, sejalan dengan bagaimana mempertanggungjawabkan sebauh informasi. Bersikap lebih aktif, sebab sebuah informasi itu harus bergantung kepada bukti dan konfirmasi," ujarnya. 

Diskusi mengenai Media Literasi dan Kebebasan Pers juga dilakukan di Kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, bekerjasama dengan @America di Jakarta dalam bentuk Digital Video Conference yang digelar pada hari terakhir, Rabu, 03 Mei 2017.

Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Heather Variava mengatakan diskusi ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi siapa saja termasuk jurnalis, agar dapat membedakan berita yang benar atau salah, di antara ribuan informasi yang beredar di masyarakat.

Menurut Heather Variava Indonesia dan Amerika Serikat merupakan dua negara besar dengan kehidupan demokrasi yang baik, di mana di dalamnya terdapat kebebasan pers. Untuk itu ia berharap kebebasan pers dapat terus dijaga, dan kehidupan demokrasi dapat semakin berjalan dengan baik.


"Saya pikir ada tradisi yang sangat sehat di Amerika Serikat dan di Indonesia, untuk ada pers bebas yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Indonesia dan Amerika Serikat. Dan saya berharap, tradisi itu akan berlanjut," paparnya. 

Minggu, 30 April 2017

Azimat Hati-Hati




#MiladAlFalah47

*Part 1


Sinar Mentari Rabu pagi masih menghangatkan dan menyinari mengiringi langkah perjalananku. Kakek dan Nenek, kedua orang tua ibuku yang kupanggil mereka Bapak dan Mama tampak bangga dan haru melihat langkah dan niat baikku untuk pergi melanjutkan belajar ke tanah Jawa.

Semalam, aku sudah dibekali dengan nasehat yang kelak akan menjadi peganganku ketika jauh dari mereka, kini, disaat aku telah siap berangkat menuju bandara, mereka tak berkata sepatahpun, hanya linangan air mata yang terlihat mengiringi kepergianku.

“Hati-hati disana Nak.” Kalimat itu cukup untuk meredam rasa risau dan bimbang dalam hati ini.

Hati-hati! Kata yang begitu populer dan banyak kita temui dimana-mana, dijalan raya, di depan belakang truk, spanduk-spanduk. Hati-hati betapa kerap di ucapkan sebagai peringatan, seringkali diucapkan oleh sang penceramah bahkan oleh para penyair. Tapi kata hati-hati merupakan azimat untukku, untuk selalu menjaga diri, sikap dan hal yang menjadi doa untukku.

Sebenarnya rasa tidak tega untuk kedua kalinya meninggalkan mereka yang teramat kusayang, jika dahulu untuk pulang kerumah dan berkumpul dengan keluarga sangatlah mudah, karena jarak Pesantren dan rumahku tidak begitu jauh, namun sekarang aku harus berjarak 816,3 KM dengan mereka dan bahkan kita tidak akan bisa bebas setiap hari berkomunikasi, tapi aku ingin mewujudkan mimpi Bapak, beliau menginginkan aku menjadi seorang perempuan penghafal Al-Qur’an dan Sarjana.


Dan keinginan itu selaras dengan Ridho Tuhan melalui beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah Kalimantan Barat berkat prestasiku di even MTQ.

“Dik, Ayah Syahid itu tidak hanya seorang Qori, Beliau juga seorang Mursyid Tarekat Naqsabandi Al-Haqqani,” Ucap Kak Khoiri menceritakan sosok Pengasuh Pondok Pesantren yang menjadi tujuanku dan seorang temanku itu.

Muhammad Khoiri adalah Alumni Pesantren Al-Falah yang berasal dari Kalimantan Barat juga, ia yang akan menjadi wakil dari keluraga kita selama dibandung. Sebelum dia pesantren di Al-Falah, dulunya ia juga pernah menjadi santri di pesantren Abdussalam di sebuah sudut desa Sungai Ambawang yang juga banyak melahirkan santri-santri yang tidak hanya Penghafal Al-Qur’an tapi juga Pintar membaca Kitab-Kitab Kuning dan ilmu-ilmu Nahwunya yang sudah banyak menorehkan prestasi tingkat Nasional.

“Pesantrennya ada dua, Al-Falah satunya di Jl. Kapten Sangun Cicalengka.” Jelasnya di dalam mobil Taxi yang membawaku dari Bandara Jakarta menuju bandung itu.


“Nanti adik bisa belajar Qiroatus sab’ah juga disana,” lanjut ceritanya menjelakan kepadaku.


Tibalah aku disebuah pesantren terkenal di Jawa-Barat yang di dirikan oleh seorang Qori KH. Q. Ahmad Syahid, Ph. D yang pernah menjuarai Musyabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Nasional pertama 1968 di Makasar.

Letak geografis yang sangat mendukung untuk para penghafal Al-Qur’an dengan cuaca yang begitu sejuk, Pesantren itu bernama Al-Qur’an Al-Falah II yang beralamat di Jalan Pamucatan Nagrek Bandung.

Persis di belakang kamar santri, sebuah gunung yang cukup tinggi menjulang, seperti melindungi dan menaungi Pesantren ini, terlihat seorang santri bersarung dan berkopiah menghampiri dan mengarahkan kita untuk menuju sebuah rumah, yaitu dalemnya Kiyai.

KH. Ahmad Farizi Al-Hafizd namanya, Beliau adalah menantu dari Ayah Syahid yang di ceritakan oleh kak Khoiri tadi, kulirik tropi-tropi dan Plakat-plakat penghargaan yang tersusun rapi di dalam rumahnya.

“Sepertinya beliau sudah banyak meraih prestasi,” gumam hatiku kagum.

Bagiku, menemui seorang kiyai pengasuh pondok pesantren Al-Qur’an bukanlah perkara biasa, aku malu bertemu Kiyai, apalagi beliau adalah seorang Hafizd. Entah kenapa, aku menganggap bahwa Kiyai adalah seorang yang memiliki mata bathin yang di anugerahi Tuhan yang bisa menembus dan mengetahui masa lalu seseorang yang dilihatnya. Makanya aku lebih banyak menunduk saat beliau duduk bersama, karena hal itu juga yang selalu diajakan di pesantren Abdussalam, tata krama, sopan santun, adab dan akhlak ketika mengahadap seorang Kiyai, Guru dan orang di hormati.

“Sudah pernah menghafal Al-Qur’an?”

“Iyaa Kiyai”

“Sudah berapa Juz?”

“Sepuluh Juz.”

Suaraku gemetar. Kepalaku masih menunduk, kalaupun mendongak, hanya berani memandang tasbih yang berputar ditangan Abi Farizi.

“Dulu pernah pesantren dimana?”

Aku tak tahu bagaimana merangkai kalimat yang pas, santun, dan tentu singkat.

“Pesantren Abdussalam di Pontianak.”

Aku terdiam, dan masih dalam tundukan.

Setelah kakak menjelaskan dan menitipkanku di pesantren ini, kakak juga memintakan doa agar aku bisa betah dan mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat.

“Nanti jadwal setoran hafalannya ba’da subuh disini ya!” Ucap beliau menjelaskan.

Seorang Khodim (Baca: Pendamping) Kiyai mengantarkanku ke kamar yang di khususkan untuk para penghafal Al-Qur’an.