Saya yakin, kita pernah mempunyai teman yang super menyebalkan ketika kita sama salah paham, si doi malah gak paham-paham, Suuzdon terus, dan jenis teman yang seperti ini bikin kita mikir, “ini orang kayak bukan makhluk bumi” atau “Duh, ini orang masa hal sepele begini aja suara amarahnya sudah mengalahkan suara toak.
Itu sudah biasa kita temui, bahkan sejak kecilpun kita sudah punya teman dengan berbagai watak, termasuk watak pribadi kita sendiri, yang terkadang cocok-cocokan terhadap watak teman. (Yaelah cocok! Jodoh kali ah!)
Ada seorang teman, (saya cerita teman masa SMP aja, karena kalau diceritakan semua kebanyakan) sebut saja namanya kartika (bukan nama sebenarnya) dia wataknya keras kepala, egois, cuek, dan kalo ngomong pedes banget (cabe rawit pokoknya).
Jika ada yang bertanya, lantas mengapa saya masih bisa bertahan bershabat dengan dia hingga saat ini? Padahal watakku juga jauh keras kepala, dan egois.
"Bersahabat denga kartika selalu membuatku bahagia" simpel hanya karena membuat bahagia.
Sisi baiknya dia jauh lebih banyak dibanding keburukkannya.
Doi selalu memberitahu ketika saya salah, mengingatkan ketika saya lupa dalam kebaikan. (Padahal umurnya masih dibawahku)
Doi rajin ibadahnya, jam 3 subuh sudah bangun menunaikan sholat tahajud, pribadinya tertutup, disiplin, tepat waktu, senang berbagi, tidak mudah untuk menyebarkan aib teman-temannya, dan satu hal yang tidak bisa dilupakan, dulu ketika masih sama-sama dibandung, pada waktunya kita sama-sama berhalangan puasa, doi sering ngajak beli jajanan bandung pada bulan Ramadhan di sepanjang trotoar Alun-alun Masjid raya, dan memakannya di balik taman agar tak terlihat khalayak ramai. (Ingat! Adegan ini tidak layak untuk ditiru) dan masih banyak pribadinya yang membahagiakan.
Sisi baiknya dia jauh lebih banyak dibanding keburukkannya.
Doi selalu memberitahu ketika saya salah, mengingatkan ketika saya lupa dalam kebaikan. (Padahal umurnya masih dibawahku)
Doi rajin ibadahnya, jam 3 subuh sudah bangun menunaikan sholat tahajud, pribadinya tertutup, disiplin, tepat waktu, senang berbagi, tidak mudah untuk menyebarkan aib teman-temannya, dan satu hal yang tidak bisa dilupakan, dulu ketika masih sama-sama dibandung, pada waktunya kita sama-sama berhalangan puasa, doi sering ngajak beli jajanan bandung pada bulan Ramadhan di sepanjang trotoar Alun-alun Masjid raya, dan memakannya di balik taman agar tak terlihat khalayak ramai. (Ingat! Adegan ini tidak layak untuk ditiru) dan masih banyak pribadinya yang membahagiakan.
Jika ditanya lagi, apakah kita tidak pernah berselisih, atau salah paham, atau brantem saling teriak-teriakan?
Waah itu sering, bahkan sering banget, tapi kita teriak-teriaknya didalam hati, saling menjengkelkan, dan menyebalkan. Doi cukup dewasa menyikapinya, cukup sama-sama diam, tidak pernah mengumumkan jika lagi ada masalah denganku, memposting status di fb contohnya, doi tidak pernah sekalipun melakukan hal yang tidak penting itu, cukup diam dan saling introspeksi diri.
Waah itu sering, bahkan sering banget, tapi kita teriak-teriaknya didalam hati, saling menjengkelkan, dan menyebalkan. Doi cukup dewasa menyikapinya, cukup sama-sama diam, tidak pernah mengumumkan jika lagi ada masalah denganku, memposting status di fb contohnya, doi tidak pernah sekalipun melakukan hal yang tidak penting itu, cukup diam dan saling introspeksi diri.
Ada banyak alasan untuk berteman dengan dia, dan hingga saat ini persahabatan tetap erat. Dan satu hal lagi yang membuatku selalu ingin bershabat dengannya, doi rajin baca buku.
Karena menurutnya membaca membuatnya berfikir cardas dan bijak.
Karena menurutnya membaca membuatnya berfikir cardas dan bijak.
Saya pernah membaca salah satu artikel mojok, di zaman keberlimpahan informasi seperti sekarang ini, yang kecepatan perputaran arus informasi tidak diimbangi dengan minat membaca yang serius. Orang-orang jadi nampak “banyak yang bego”. Sebabnya, membaca juga merupakan keterampilan, yang sama seperti keterampilan sederhana lain seperti mengayuh sepeda, misalnya, yang mesti dilatih terus-menerus agar semakin cakap.
Dan menurut survey abal-abal yang saya teliti, sesorang dengan menyandang umur yang lebih tua, ternyata tidak menjamin otaknya jernih dalam bersikap, Suuzdon terus. Dan dewasa ternyata benar-benar sebuah pilihan.
Kembali pada tema TEMAN, saya pun teringat ketika dipondok dulu, sebelum memulai belajar yang lain, kiyai mengajarkan kitab-kitab adab, salah satunya Taklimul Muta'allim, dan syair-syair imam syafi'i yang seingatku isinya seperti ini :
"Bila tak kautemukan sahabat-sahabat yang taqwa, jauh lebih baik kamu hidup menyendiri daripada kamu harus bergaul dengan orang-orang jahat.
Percayalah, duduk sendirian untuk beribadah dengan tenang akan lebih menyenangkanmu daripada bersahabat
dengan kawan yang mesti kamu waspadai.
dengan kawan yang mesti kamu waspadai.
Selamatkanlah dirimu, jaga lidahmu baik- baik, tentu kamu akan bahagia walaupun kamu terpaksa hidup sendiri.
Tidak baik bersahabat dengan pengkhianat karana dia akan mencampakkan cinta setelah dicintai. Dia akan memungkiri jalinan cinta yang telah terbentuk dan akan menampakkan hal-hal yang menjadi rahasiamu.
Tak semua orang yang engkau cintai, akn mencintaimu. Dan terkadang sikap ramahmu dibalas dengan sikap tak sopan.
Berharaplah engkau mendapatkan sahabat sejati yang tak luntur baik dalam keadaan suka ataupun duka. Jika itu engkau dapatkan, berjanjilah dalam hatimu untuk selalu setia padanya.
Apabila engkau menginginkan kemuliaan maka carilah sahabat dari orang orang yang takut kepada Allah Swt".
Senada dengan pesan salah seorang teman kampusku " cara berteman yang sehat tidak hanya berteman yang "kelihatan" baik, karena diri kamu mudah terpengaruh, maka berhati-hatilah dalam bergaul" sekilas pesannya pendek tapi kok "makjleb banget" apalagi beliau sudah pernah merantau ke negeri para ulama, konsumsi kitab-kitabnya jauh lebih banyak, dan juga beliau pasti sudah banyak mengalami sensasi problematika berteman.
Aduuh Gustiii nu Agung, hapunten sagala hilaf abdi!!
Ada dua poin yang perlu kita ketahui, kenapa TEMAN adalah menu yang harus disantap sebelum Ah*k jadi Gubernur DKI.
Pertama: Tidak ada label halal MUI, Ketika warung-warung steak, dan cafe-cafe banyak diganggu oleh seritifikasi halal MUI, maka makan daging mentah teman (menggunjing) akan ada terus dalam peradaban dunia.
Kedua: Murah meriah. Ketika kutahu bahwa makan di warung steak yang harganya bisa buat makan seminggu di warteg, Berapapun itu, yang pasti tidak akan lebih murah ketimbang makan daging mentahnya teman. Makan teman bisa dikatakan tidak ada biayanya. Atau malah untung. Saya hanya butuh teman untuk mendengarkan omonganku, dan akan saya ceritakan aibnya lalu saya menggunjingnya di sosmed. Murah!
Naah! Coba deh sesekali baca kitab-kitab imam Al-Ghazali pada bab "Menggunjing/Ghibah". Kalau gak punya coba pinjem. Kalau gak ada juga, yaelah pantas aja hidup mu suram! (Eh jangan darah tinggi dulu, cuma becanda)
Karena doaku tetap sama seperti dulu, semoga hidupmu lebih indah.
bagussss
BalasHapus