Kamis, 11 Mei 2017

Surat Terbuka Untuk Kaum Berbaju Putih





Wahai akhi yang berbaju putih?

Semoga Sang Maha Lembut senantiasa melembutkan hatimu.

Oia kali ini aku ingin bercerita bahwa dalam minggu-minggu ini aku cukup intens komunikasi dengan keluargaku di kampung, sekedar bertanya kabar-mengabari, bercerita-menceritakan tentang kehidupan di ibu kota yang begitu jauh dengan suasana dikampung.

Namun tidak hanya untuk itu, tapi aku juga memastikan kabar tetanggaku yang non muslim, apakah masih seperti dahulu ketika aku masih kecil, tanpa belajar secara formal dan buku tertulispun sikap toleransi itu selalu ada dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap saling menghargai, menghormati, saling berbagi semangkuk kolak, mungkin yang terlintas pertanyaan dalam benak kamu bagaimana ketika non muslim memberikan semangkuk kolak untuk muslim.

"apa tidak takut bejana untuk memasaknya pernah digunakan untuk memasak daging babi?".

Ya tentu, ibuku sangat berhati-hati soal itu, tapi mereka jauh menghargai itu, ketika keluarga muslim memberikan kolak maka yang dibalas oleh mereka dengan memberikan bahan-bahan mentah kolak.

Mohon maaf ya akhi yang berbaju putih,  mungkin aku terlalu detail menjelaskan hal itu hingga ke bejana yang ada di dapur. Karena memang begitulah suasana damai yang selalu ada di dalam lingkungan kehidupan lintas agama, adat, suku dan budaya.

Bukan berarti semua itu juga terasa manis diseluruh penduduk Kalimantan Barat? Tentu tidak.

Dalam sejarahnya pernah terjadi kerusuhan Sambas yaitu pecahnya antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan sekitarnya. Kerusuhan di Sambas sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak 1970, waktu itu aku belum lahir sih, jadi hanya keluargaku yang tahu, dan kerusuhan itu terulang  pada tahun 1999, ketika itu aku masih kecil, meskipun dari tempat kerusuhan itu cukup jauh, beda kabupaten, tapi kabar kerusuhan itu terdengar begitu menakutkan.

Peristiwa itu berkembang dengan terjadinya kerusuhan, pembakaran, pengrusakan, perkelahian, penganiayaan dan pembunuhan yang kemudian isu itu dieksploitir oleh kelompok-kelompok untuk kepentingannya.

Menurut data yang ada korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari, 1.189 orang yang tewas, 168 orang luka berat, 34 orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 12 mobil dan 9 motor dibakar/dirusak, 8 masjid/madrasah dirusak/dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak, dan 29.823 warga Madura mengungsi.

Ya kalau ukhti-ukhti atau akhi-akhi yang senengnya pake baju putih sambil teriak-teriak dijalan itu tidak akan pernah tahu bagaimana suasana mencekam itu, apalagi minyak-minyak jelantah, mana tahu suasana seperti itu.

Ketika para orang tua tidak pernah menyentuh bantal setiap malamnya demi menjaga anak-anaknya lelap dalam tidurnya,  sembari semua baju sudah di buntel-buntel, harta-harta dibungkus plastik hitam, beras-beras di karung-karungi, dan semua anggota keluarga sudah disiapkan untuk membawa butelan itu masing-masing.

Meskipun kampungku saat itu sangat aman, tapi bapakku bilang begini,

"Kita tetap berprilaku baik terhadap mereka, tapi kita juga tetap harus hati-hati, karena adu domba yang akan menyebabkan bentrok".

Wahai akhi yang berbaju putih..
Aku mohon sudah cukuplah buku sejarah di ceritakan hal-hal mengerikan seperti itu, sudahlah jangan di adu domba dengan mengatasnamakan agama, sekarang bahasa lain dari adu domba itu adalah provokasi, dan dibalik hal itu ada seorang provokator andal.

Cukuplah ibu kota yang menjadi tempat penyaluran hobimu, tapi tolong janganlah mengusik ketenangan hidup  masyarakat di  Kalimantan Barat.

Cukuplah di ibu kota yang di ricuhkan dengan atas nama aksi bela membela itu.

Daerah kita sudah cukup tenang, aman dan damai, janganlah coba-coba untuk mengusiknya lagi.

Kalimantan Barat, kita disana sudah pernah melalui masa-masa sulit itu, segala pertumpahan darah dan korban jiwa yang tidak sedikit.

Rasa trauma, takut, dan melupakan itu butuh waktu yang sangat lama, ini hal serius dan sangat serius, jangan samakan hal itu dengan cara melupakan mantan kekasih yang memang seorang pecundang, ah! Itu teramat mudah untuk dilupakan.

Tapi menyangkut hal agama, adat, suku dan budaya, dan hari ini kita sudah sama-sama move on, sudah berdamai dan melupakan satu sama lain.

Meskipun tidak dipungkiri hal itu akan kembali terasa sakit ketika mulai di ungkit, dipancing-pancing, di mulai dengan provokasi dan apapun itu bentuknya.

Wahai akhi berbaju putih, kalian itu layaknya tamu yang mau bertamu kerumah kita, datanglah baik-baik, berucaplah yang baik, jangan memancing perdebatan apalagi menyinggung, kalau tidak ingin di usir.

Aku sungguh tak sanggup membayangi masa lalu kelam, meskipun aku bukan termasuk korban dalam kerusuhan itu, tapi aku termasuk anak-anak yang terancam keselamatannya saat itu.

Sungguh ini sangat serius, sungguh sangat serius, menyedihkan sangat menyedihkan.

Sore ini ibuku menelfon, menyampaikan rasa khawatirnya akan masa lalu, meski hal sama yang aku rasakan, tapi aku hanya bisa meyakinkan beliau bahwa semua akan baik-baik saja.

Wahai akhi berbaju putih, militansimu memang sangat tidak diragukan, tapi tolonglah, jangan sampai kau usik kembali luka lama itu.

Hanya itu saja permintaanku, jangan mengusik-usik kembali semua masa lalu kelam, permintaan dari seorang gadis kecil yang lahir di sebuah sudut desa.

Mengutip dari sebuah status facebook, pemili akunnya seorang penulis yang akhir-akhir ini menjadi artis penulis yang sangat fenomenal ditanah air, yaitu Gadis NU mbk Kalis Mardiasih.

"Jika para militan aksi ini bangga bisa menggelar rally yang mereka sebut bela ulama, silakan unfriend saya sebab sudah makin muak dengan penyebutan kata itu jika dirangkai dengan kata bela. 

Beberapa bulan lalu, Ustad Tengku dicegat oleh suku dayak sebab kesalahpahaman dan ujaran-ujarannya sendiri. Lalu, mereka ingin melakukan semacam aksi balas dendam(apa sebutan yang lebih tepat?) lewat rally semacam ini dengan memprovokasi masyarakat di tanah orang. 

Saya seperti sudah hampir gagal berlogika mengapa militan ini tidak mengalami ketakutan-ketakutan seperti yang dirasakan orang lain. Mereka datang ke tanah orang untuk melakukan provokasi, jika terjadi gesekan bahkan pertumpahan darah, atau minimal kehidupan bertetangga yang tak lagi damai, mereka tinggal pulang ke Jakarta tanpa rasa bersalah, sedangkan warga lokal dan para pendatang di sana yang terkena efeknya. 

Bangkit dari trauma akibat konflik kemanusiaan butuh waktu yang panjang. Butuh modal sosial, politik dan ekonomi yang berat dan menguras enerji bangsa. 

Jahat. Sungguh sungguh jahat."

Aku sangat sepakat dengannya, mereka tidak hanya jahat, tapi teramat jahat, pecundang ulung, pemangku kepentingan.

Dan untuk kalian yang tidak suka dengan tulisan ini, silahkan blok semua akun sosmedku.

Sekian.

0 komentar:

Posting Komentar