#MiladAlFalah47
*Part 1
Sinar Mentari Rabu
pagi masih menghangatkan dan menyinari mengiringi langkah perjalananku. Kakek
dan Nenek, kedua orang tua ibuku yang kupanggil mereka Bapak dan Mama tampak
bangga dan haru melihat langkah dan niat baikku untuk pergi melanjutkan belajar
ke tanah Jawa.
Semalam, aku sudah
dibekali dengan nasehat yang kelak akan menjadi peganganku ketika jauh dari
mereka, kini, disaat aku telah siap berangkat menuju bandara, mereka tak
berkata sepatahpun, hanya linangan air mata yang terlihat mengiringi
kepergianku.
“Hati-hati disana
Nak.” Kalimat itu cukup untuk meredam rasa risau dan bimbang dalam hati ini.
Hati-hati! Kata yang
begitu populer dan banyak kita temui dimana-mana, dijalan raya, di depan
belakang truk, spanduk-spanduk. Hati-hati betapa kerap di ucapkan sebagai
peringatan, seringkali diucapkan oleh sang penceramah bahkan oleh para penyair.
Tapi kata hati-hati merupakan azimat untukku, untuk selalu menjaga diri, sikap
dan hal yang menjadi doa untukku.
Sebenarnya rasa
tidak tega untuk kedua kalinya meninggalkan mereka yang teramat kusayang, jika
dahulu untuk pulang kerumah dan berkumpul dengan keluarga sangatlah mudah,
karena jarak Pesantren dan rumahku tidak begitu jauh, namun sekarang aku harus
berjarak 816,3 KM dengan mereka dan bahkan kita tidak akan bisa bebas setiap
hari berkomunikasi, tapi aku ingin mewujudkan mimpi Bapak, beliau menginginkan
aku menjadi seorang perempuan penghafal Al-Qur’an dan Sarjana.
Dan keinginan itu
selaras dengan Ridho Tuhan melalui beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah
Kalimantan Barat berkat prestasiku di even MTQ.
“Dik, Ayah Syahid
itu tidak hanya seorang Qori, Beliau juga seorang Mursyid Tarekat Naqsabandi
Al-Haqqani,” Ucap Kak Khoiri menceritakan sosok Pengasuh Pondok Pesantren yang
menjadi tujuanku dan seorang temanku itu.
Muhammad Khoiri
adalah Alumni Pesantren Al-Falah yang berasal dari Kalimantan Barat juga, ia
yang akan menjadi wakil dari keluraga kita selama dibandung. Sebelum dia
pesantren di Al-Falah, dulunya ia juga pernah menjadi santri di pesantren
Abdussalam di sebuah sudut desa Sungai Ambawang yang juga banyak melahirkan
santri-santri yang tidak hanya Penghafal Al-Qur’an tapi juga Pintar membaca
Kitab-Kitab Kuning dan ilmu-ilmu Nahwunya yang sudah banyak menorehkan prestasi
tingkat Nasional.
“Pesantrennya ada dua, Al-Falah satunya di Jl. Kapten Sangun Cicalengka.” Jelasnya di dalam mobil Taxi yang membawaku dari Bandara Jakarta menuju bandung itu.
“Nanti adik bisa
belajar Qiroatus sab’ah juga disana,” lanjut ceritanya menjelakan kepadaku.
Tibalah aku disebuah
pesantren terkenal di Jawa-Barat yang di dirikan oleh seorang Qori KH. Q. Ahmad
Syahid, Ph. D yang pernah menjuarai Musyabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat
Nasional pertama 1968 di Makasar.
Letak geografis yang
sangat mendukung untuk para penghafal Al-Qur’an dengan cuaca yang begitu sejuk,
Pesantren itu bernama Al-Qur’an Al-Falah II yang beralamat di Jalan Pamucatan
Nagrek Bandung.
Persis di belakang
kamar santri, sebuah gunung yang cukup tinggi menjulang, seperti melindungi dan
menaungi Pesantren ini, terlihat seorang santri bersarung dan berkopiah
menghampiri dan mengarahkan kita untuk menuju sebuah rumah, yaitu dalemnya
Kiyai.
KH. Ahmad Farizi Al-Hafizd
namanya, Beliau adalah menantu dari Ayah Syahid yang di ceritakan oleh kak
Khoiri tadi, kulirik tropi-tropi dan Plakat-plakat penghargaan yang tersusun
rapi di dalam rumahnya.
“Sepertinya beliau sudah
banyak meraih prestasi,” gumam hatiku kagum.
Bagiku, menemui
seorang kiyai pengasuh pondok pesantren Al-Qur’an bukanlah perkara biasa, aku
malu bertemu Kiyai, apalagi beliau adalah seorang Hafizd. Entah kenapa, aku
menganggap bahwa Kiyai adalah seorang yang memiliki mata bathin yang di
anugerahi Tuhan yang bisa menembus dan mengetahui masa lalu seseorang yang
dilihatnya. Makanya aku lebih banyak menunduk saat beliau duduk bersama, karena
hal itu juga yang selalu diajakan di pesantren Abdussalam, tata krama, sopan
santun, adab dan akhlak ketika mengahadap seorang Kiyai, Guru dan orang di
hormati.
“Sudah pernah
menghafal Al-Qur’an?”
“Iyaa Kiyai”
“Sudah berapa Juz?”
“Sepuluh Juz.”
Suaraku gemetar. Kepalaku
masih menunduk, kalaupun mendongak, hanya berani memandang tasbih yang berputar
ditangan Abi Farizi.
“Dulu pernah pesantren
dimana?”
Aku tak tahu
bagaimana merangkai kalimat yang pas, santun, dan tentu singkat.
“Pesantren
Abdussalam di Pontianak.”
Aku terdiam, dan
masih dalam tundukan.
Setelah kakak
menjelaskan dan menitipkanku di pesantren ini, kakak juga memintakan doa agar
aku bisa betah dan mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat.
“Nanti jadwal
setoran hafalannya ba’da subuh disini ya!” Ucap beliau menjelaskan.
Seorang Khodim
(Baca: Pendamping) Kiyai mengantarkanku ke kamar yang di khususkan untuk para
penghafal Al-Qur’an.
0 komentar:
Posting Komentar