Minggu, 30 April 2017

Azimat Hati-Hati




#MiladAlFalah47

*Part 1


Sinar Mentari Rabu pagi masih menghangatkan dan menyinari mengiringi langkah perjalananku. Kakek dan Nenek, kedua orang tua ibuku yang kupanggil mereka Bapak dan Mama tampak bangga dan haru melihat langkah dan niat baikku untuk pergi melanjutkan belajar ke tanah Jawa.

Semalam, aku sudah dibekali dengan nasehat yang kelak akan menjadi peganganku ketika jauh dari mereka, kini, disaat aku telah siap berangkat menuju bandara, mereka tak berkata sepatahpun, hanya linangan air mata yang terlihat mengiringi kepergianku.

“Hati-hati disana Nak.” Kalimat itu cukup untuk meredam rasa risau dan bimbang dalam hati ini.

Hati-hati! Kata yang begitu populer dan banyak kita temui dimana-mana, dijalan raya, di depan belakang truk, spanduk-spanduk. Hati-hati betapa kerap di ucapkan sebagai peringatan, seringkali diucapkan oleh sang penceramah bahkan oleh para penyair. Tapi kata hati-hati merupakan azimat untukku, untuk selalu menjaga diri, sikap dan hal yang menjadi doa untukku.

Sebenarnya rasa tidak tega untuk kedua kalinya meninggalkan mereka yang teramat kusayang, jika dahulu untuk pulang kerumah dan berkumpul dengan keluarga sangatlah mudah, karena jarak Pesantren dan rumahku tidak begitu jauh, namun sekarang aku harus berjarak 816,3 KM dengan mereka dan bahkan kita tidak akan bisa bebas setiap hari berkomunikasi, tapi aku ingin mewujudkan mimpi Bapak, beliau menginginkan aku menjadi seorang perempuan penghafal Al-Qur’an dan Sarjana.


Dan keinginan itu selaras dengan Ridho Tuhan melalui beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah Kalimantan Barat berkat prestasiku di even MTQ.

“Dik, Ayah Syahid itu tidak hanya seorang Qori, Beliau juga seorang Mursyid Tarekat Naqsabandi Al-Haqqani,” Ucap Kak Khoiri menceritakan sosok Pengasuh Pondok Pesantren yang menjadi tujuanku dan seorang temanku itu.

Muhammad Khoiri adalah Alumni Pesantren Al-Falah yang berasal dari Kalimantan Barat juga, ia yang akan menjadi wakil dari keluraga kita selama dibandung. Sebelum dia pesantren di Al-Falah, dulunya ia juga pernah menjadi santri di pesantren Abdussalam di sebuah sudut desa Sungai Ambawang yang juga banyak melahirkan santri-santri yang tidak hanya Penghafal Al-Qur’an tapi juga Pintar membaca Kitab-Kitab Kuning dan ilmu-ilmu Nahwunya yang sudah banyak menorehkan prestasi tingkat Nasional.

“Pesantrennya ada dua, Al-Falah satunya di Jl. Kapten Sangun Cicalengka.” Jelasnya di dalam mobil Taxi yang membawaku dari Bandara Jakarta menuju bandung itu.


“Nanti adik bisa belajar Qiroatus sab’ah juga disana,” lanjut ceritanya menjelakan kepadaku.


Tibalah aku disebuah pesantren terkenal di Jawa-Barat yang di dirikan oleh seorang Qori KH. Q. Ahmad Syahid, Ph. D yang pernah menjuarai Musyabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Nasional pertama 1968 di Makasar.

Letak geografis yang sangat mendukung untuk para penghafal Al-Qur’an dengan cuaca yang begitu sejuk, Pesantren itu bernama Al-Qur’an Al-Falah II yang beralamat di Jalan Pamucatan Nagrek Bandung.

Persis di belakang kamar santri, sebuah gunung yang cukup tinggi menjulang, seperti melindungi dan menaungi Pesantren ini, terlihat seorang santri bersarung dan berkopiah menghampiri dan mengarahkan kita untuk menuju sebuah rumah, yaitu dalemnya Kiyai.

KH. Ahmad Farizi Al-Hafizd namanya, Beliau adalah menantu dari Ayah Syahid yang di ceritakan oleh kak Khoiri tadi, kulirik tropi-tropi dan Plakat-plakat penghargaan yang tersusun rapi di dalam rumahnya.

“Sepertinya beliau sudah banyak meraih prestasi,” gumam hatiku kagum.

Bagiku, menemui seorang kiyai pengasuh pondok pesantren Al-Qur’an bukanlah perkara biasa, aku malu bertemu Kiyai, apalagi beliau adalah seorang Hafizd. Entah kenapa, aku menganggap bahwa Kiyai adalah seorang yang memiliki mata bathin yang di anugerahi Tuhan yang bisa menembus dan mengetahui masa lalu seseorang yang dilihatnya. Makanya aku lebih banyak menunduk saat beliau duduk bersama, karena hal itu juga yang selalu diajakan di pesantren Abdussalam, tata krama, sopan santun, adab dan akhlak ketika mengahadap seorang Kiyai, Guru dan orang di hormati.

“Sudah pernah menghafal Al-Qur’an?”

“Iyaa Kiyai”

“Sudah berapa Juz?”

“Sepuluh Juz.”

Suaraku gemetar. Kepalaku masih menunduk, kalaupun mendongak, hanya berani memandang tasbih yang berputar ditangan Abi Farizi.

“Dulu pernah pesantren dimana?”

Aku tak tahu bagaimana merangkai kalimat yang pas, santun, dan tentu singkat.

“Pesantren Abdussalam di Pontianak.”

Aku terdiam, dan masih dalam tundukan.

Setelah kakak menjelaskan dan menitipkanku di pesantren ini, kakak juga memintakan doa agar aku bisa betah dan mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat.

“Nanti jadwal setoran hafalannya ba’da subuh disini ya!” Ucap beliau menjelaskan.

Seorang Khodim (Baca: Pendamping) Kiyai mengantarkanku ke kamar yang di khususkan untuk para penghafal Al-Qur’an.

0 komentar:

Posting Komentar