Kamis, 11 Mei 2017

Surat Terbuka Untuk Kaum Berbaju Putih





Wahai akhi yang berbaju putih?

Semoga Sang Maha Lembut senantiasa melembutkan hatimu.

Oia kali ini aku ingin bercerita bahwa dalam minggu-minggu ini aku cukup intens komunikasi dengan keluargaku di kampung, sekedar bertanya kabar-mengabari, bercerita-menceritakan tentang kehidupan di ibu kota yang begitu jauh dengan suasana dikampung.

Namun tidak hanya untuk itu, tapi aku juga memastikan kabar tetanggaku yang non muslim, apakah masih seperti dahulu ketika aku masih kecil, tanpa belajar secara formal dan buku tertulispun sikap toleransi itu selalu ada dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap saling menghargai, menghormati, saling berbagi semangkuk kolak, mungkin yang terlintas pertanyaan dalam benak kamu bagaimana ketika non muslim memberikan semangkuk kolak untuk muslim.

"apa tidak takut bejana untuk memasaknya pernah digunakan untuk memasak daging babi?".

Ya tentu, ibuku sangat berhati-hati soal itu, tapi mereka jauh menghargai itu, ketika keluarga muslim memberikan kolak maka yang dibalas oleh mereka dengan memberikan bahan-bahan mentah kolak.

Mohon maaf ya akhi yang berbaju putih,  mungkin aku terlalu detail menjelaskan hal itu hingga ke bejana yang ada di dapur. Karena memang begitulah suasana damai yang selalu ada di dalam lingkungan kehidupan lintas agama, adat, suku dan budaya.

Bukan berarti semua itu juga terasa manis diseluruh penduduk Kalimantan Barat? Tentu tidak.

Dalam sejarahnya pernah terjadi kerusuhan Sambas yaitu pecahnya antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan sekitarnya. Kerusuhan di Sambas sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak 1970, waktu itu aku belum lahir sih, jadi hanya keluargaku yang tahu, dan kerusuhan itu terulang  pada tahun 1999, ketika itu aku masih kecil, meskipun dari tempat kerusuhan itu cukup jauh, beda kabupaten, tapi kabar kerusuhan itu terdengar begitu menakutkan.

Peristiwa itu berkembang dengan terjadinya kerusuhan, pembakaran, pengrusakan, perkelahian, penganiayaan dan pembunuhan yang kemudian isu itu dieksploitir oleh kelompok-kelompok untuk kepentingannya.

Menurut data yang ada korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari, 1.189 orang yang tewas, 168 orang luka berat, 34 orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 12 mobil dan 9 motor dibakar/dirusak, 8 masjid/madrasah dirusak/dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak, dan 29.823 warga Madura mengungsi.

Ya kalau ukhti-ukhti atau akhi-akhi yang senengnya pake baju putih sambil teriak-teriak dijalan itu tidak akan pernah tahu bagaimana suasana mencekam itu, apalagi minyak-minyak jelantah, mana tahu suasana seperti itu.

Ketika para orang tua tidak pernah menyentuh bantal setiap malamnya demi menjaga anak-anaknya lelap dalam tidurnya,  sembari semua baju sudah di buntel-buntel, harta-harta dibungkus plastik hitam, beras-beras di karung-karungi, dan semua anggota keluarga sudah disiapkan untuk membawa butelan itu masing-masing.

Meskipun kampungku saat itu sangat aman, tapi bapakku bilang begini,

"Kita tetap berprilaku baik terhadap mereka, tapi kita juga tetap harus hati-hati, karena adu domba yang akan menyebabkan bentrok".

Wahai akhi yang berbaju putih..
Aku mohon sudah cukuplah buku sejarah di ceritakan hal-hal mengerikan seperti itu, sudahlah jangan di adu domba dengan mengatasnamakan agama, sekarang bahasa lain dari adu domba itu adalah provokasi, dan dibalik hal itu ada seorang provokator andal.

Cukuplah ibu kota yang menjadi tempat penyaluran hobimu, tapi tolong janganlah mengusik ketenangan hidup  masyarakat di  Kalimantan Barat.

Cukuplah di ibu kota yang di ricuhkan dengan atas nama aksi bela membela itu.

Daerah kita sudah cukup tenang, aman dan damai, janganlah coba-coba untuk mengusiknya lagi.

Kalimantan Barat, kita disana sudah pernah melalui masa-masa sulit itu, segala pertumpahan darah dan korban jiwa yang tidak sedikit.

Rasa trauma, takut, dan melupakan itu butuh waktu yang sangat lama, ini hal serius dan sangat serius, jangan samakan hal itu dengan cara melupakan mantan kekasih yang memang seorang pecundang, ah! Itu teramat mudah untuk dilupakan.

Tapi menyangkut hal agama, adat, suku dan budaya, dan hari ini kita sudah sama-sama move on, sudah berdamai dan melupakan satu sama lain.

Meskipun tidak dipungkiri hal itu akan kembali terasa sakit ketika mulai di ungkit, dipancing-pancing, di mulai dengan provokasi dan apapun itu bentuknya.

Wahai akhi berbaju putih, kalian itu layaknya tamu yang mau bertamu kerumah kita, datanglah baik-baik, berucaplah yang baik, jangan memancing perdebatan apalagi menyinggung, kalau tidak ingin di usir.

Aku sungguh tak sanggup membayangi masa lalu kelam, meskipun aku bukan termasuk korban dalam kerusuhan itu, tapi aku termasuk anak-anak yang terancam keselamatannya saat itu.

Sungguh ini sangat serius, sungguh sangat serius, menyedihkan sangat menyedihkan.

Sore ini ibuku menelfon, menyampaikan rasa khawatirnya akan masa lalu, meski hal sama yang aku rasakan, tapi aku hanya bisa meyakinkan beliau bahwa semua akan baik-baik saja.

Wahai akhi berbaju putih, militansimu memang sangat tidak diragukan, tapi tolonglah, jangan sampai kau usik kembali luka lama itu.

Hanya itu saja permintaanku, jangan mengusik-usik kembali semua masa lalu kelam, permintaan dari seorang gadis kecil yang lahir di sebuah sudut desa.

Mengutip dari sebuah status facebook, pemili akunnya seorang penulis yang akhir-akhir ini menjadi artis penulis yang sangat fenomenal ditanah air, yaitu Gadis NU mbk Kalis Mardiasih.

"Jika para militan aksi ini bangga bisa menggelar rally yang mereka sebut bela ulama, silakan unfriend saya sebab sudah makin muak dengan penyebutan kata itu jika dirangkai dengan kata bela. 

Beberapa bulan lalu, Ustad Tengku dicegat oleh suku dayak sebab kesalahpahaman dan ujaran-ujarannya sendiri. Lalu, mereka ingin melakukan semacam aksi balas dendam(apa sebutan yang lebih tepat?) lewat rally semacam ini dengan memprovokasi masyarakat di tanah orang. 

Saya seperti sudah hampir gagal berlogika mengapa militan ini tidak mengalami ketakutan-ketakutan seperti yang dirasakan orang lain. Mereka datang ke tanah orang untuk melakukan provokasi, jika terjadi gesekan bahkan pertumpahan darah, atau minimal kehidupan bertetangga yang tak lagi damai, mereka tinggal pulang ke Jakarta tanpa rasa bersalah, sedangkan warga lokal dan para pendatang di sana yang terkena efeknya. 

Bangkit dari trauma akibat konflik kemanusiaan butuh waktu yang panjang. Butuh modal sosial, politik dan ekonomi yang berat dan menguras enerji bangsa. 

Jahat. Sungguh sungguh jahat."

Aku sangat sepakat dengannya, mereka tidak hanya jahat, tapi teramat jahat, pecundang ulung, pemangku kepentingan.

Dan untuk kalian yang tidak suka dengan tulisan ini, silahkan blok semua akun sosmedku.

Sekian.

Kamis, 04 Mei 2017

Digital Citizenship : The Impact of Social Media on News Literacy




Mewakili Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri NU dalam rangka merayakan Hari Kebebasan Pers Dunia dengan memperluas literasi media dan menjadi jurnlis  yang lebih efektif, pada diskusi yang bertema "Making Sense of the News : What's Fair What's Biased" yang digelar Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia di @america, Jakarta, Selasa-Rabu 2/3 Mei 2017. 

Pada diskusi hari pertama di hadiri oleh Professor Steven Reiner, Stony Brook University, Dede AW, Kompas TV, Endy Bayuni, The Jakarta Post, Iwan Setiawan, Social Media Practitioner.

Profesor dari Stony Brook University di Amerika Serikat, Steven Reiner itu memberikan saran dalam menentukan kebenaran sebuah informasi, atau sumber berita,  ketika menerima sebuah informasi, hal pertama yang harus dipastikan adalah dari mana sumber informasi itu berasal. Kemudian, apakah informasi itu mempunyai bukti, atau validitas yang real dan bagaimana informasi itu disampaikan. 

Bagaimana mempercayai sebuah informasi benar atau tidak? Pertanyaan itu mungkin muncul di pikiran banyak orang di era informasi dan ditigal saat ini.

Media sosial begitu banyak memuat informasi yang begitu memicu pertentangan, berbeda-beda dan provokasi. Lalu yang manakah yang harus dipercaya? 

Kendati demikian, Steven sedikit memberi saran, sebuah kebenaran informasi itu sebenarnya tidak berasal dari media mana pun. Tapi kebenaran itu tergantung dari diri masing-masing individu bagaimana yang bersangkutan menggali lebih dalam dari sebuah informasi atau berita yang diterima. 

"Apakah informasi itu berasal sumber pertama atau kedua. Hal itu penting untuk dicek dalam mempercayai sebuah informasi,"

"Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu luas, sejalan dengan bagaimana mempertanggungjawabkan sebauh informasi. Bersikap lebih aktif, sebab sebuah informasi itu harus bergantung kepada bukti dan konfirmasi," ujarnya. 

Diskusi mengenai Media Literasi dan Kebebasan Pers juga dilakukan di Kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, bekerjasama dengan @America di Jakarta dalam bentuk Digital Video Conference yang digelar pada hari terakhir, Rabu, 03 Mei 2017.

Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Heather Variava mengatakan diskusi ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi siapa saja termasuk jurnalis, agar dapat membedakan berita yang benar atau salah, di antara ribuan informasi yang beredar di masyarakat.

Menurut Heather Variava Indonesia dan Amerika Serikat merupakan dua negara besar dengan kehidupan demokrasi yang baik, di mana di dalamnya terdapat kebebasan pers. Untuk itu ia berharap kebebasan pers dapat terus dijaga, dan kehidupan demokrasi dapat semakin berjalan dengan baik.


"Saya pikir ada tradisi yang sangat sehat di Amerika Serikat dan di Indonesia, untuk ada pers bebas yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Indonesia dan Amerika Serikat. Dan saya berharap, tradisi itu akan berlanjut," paparnya. 

Minggu, 30 April 2017

Azimat Hati-Hati




#MiladAlFalah47

*Part 1


Sinar Mentari Rabu pagi masih menghangatkan dan menyinari mengiringi langkah perjalananku. Kakek dan Nenek, kedua orang tua ibuku yang kupanggil mereka Bapak dan Mama tampak bangga dan haru melihat langkah dan niat baikku untuk pergi melanjutkan belajar ke tanah Jawa.

Semalam, aku sudah dibekali dengan nasehat yang kelak akan menjadi peganganku ketika jauh dari mereka, kini, disaat aku telah siap berangkat menuju bandara, mereka tak berkata sepatahpun, hanya linangan air mata yang terlihat mengiringi kepergianku.

“Hati-hati disana Nak.” Kalimat itu cukup untuk meredam rasa risau dan bimbang dalam hati ini.

Hati-hati! Kata yang begitu populer dan banyak kita temui dimana-mana, dijalan raya, di depan belakang truk, spanduk-spanduk. Hati-hati betapa kerap di ucapkan sebagai peringatan, seringkali diucapkan oleh sang penceramah bahkan oleh para penyair. Tapi kata hati-hati merupakan azimat untukku, untuk selalu menjaga diri, sikap dan hal yang menjadi doa untukku.

Sebenarnya rasa tidak tega untuk kedua kalinya meninggalkan mereka yang teramat kusayang, jika dahulu untuk pulang kerumah dan berkumpul dengan keluarga sangatlah mudah, karena jarak Pesantren dan rumahku tidak begitu jauh, namun sekarang aku harus berjarak 816,3 KM dengan mereka dan bahkan kita tidak akan bisa bebas setiap hari berkomunikasi, tapi aku ingin mewujudkan mimpi Bapak, beliau menginginkan aku menjadi seorang perempuan penghafal Al-Qur’an dan Sarjana.


Dan keinginan itu selaras dengan Ridho Tuhan melalui beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah Kalimantan Barat berkat prestasiku di even MTQ.

“Dik, Ayah Syahid itu tidak hanya seorang Qori, Beliau juga seorang Mursyid Tarekat Naqsabandi Al-Haqqani,” Ucap Kak Khoiri menceritakan sosok Pengasuh Pondok Pesantren yang menjadi tujuanku dan seorang temanku itu.

Muhammad Khoiri adalah Alumni Pesantren Al-Falah yang berasal dari Kalimantan Barat juga, ia yang akan menjadi wakil dari keluraga kita selama dibandung. Sebelum dia pesantren di Al-Falah, dulunya ia juga pernah menjadi santri di pesantren Abdussalam di sebuah sudut desa Sungai Ambawang yang juga banyak melahirkan santri-santri yang tidak hanya Penghafal Al-Qur’an tapi juga Pintar membaca Kitab-Kitab Kuning dan ilmu-ilmu Nahwunya yang sudah banyak menorehkan prestasi tingkat Nasional.

“Pesantrennya ada dua, Al-Falah satunya di Jl. Kapten Sangun Cicalengka.” Jelasnya di dalam mobil Taxi yang membawaku dari Bandara Jakarta menuju bandung itu.


“Nanti adik bisa belajar Qiroatus sab’ah juga disana,” lanjut ceritanya menjelakan kepadaku.


Tibalah aku disebuah pesantren terkenal di Jawa-Barat yang di dirikan oleh seorang Qori KH. Q. Ahmad Syahid, Ph. D yang pernah menjuarai Musyabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Nasional pertama 1968 di Makasar.

Letak geografis yang sangat mendukung untuk para penghafal Al-Qur’an dengan cuaca yang begitu sejuk, Pesantren itu bernama Al-Qur’an Al-Falah II yang beralamat di Jalan Pamucatan Nagrek Bandung.

Persis di belakang kamar santri, sebuah gunung yang cukup tinggi menjulang, seperti melindungi dan menaungi Pesantren ini, terlihat seorang santri bersarung dan berkopiah menghampiri dan mengarahkan kita untuk menuju sebuah rumah, yaitu dalemnya Kiyai.

KH. Ahmad Farizi Al-Hafizd namanya, Beliau adalah menantu dari Ayah Syahid yang di ceritakan oleh kak Khoiri tadi, kulirik tropi-tropi dan Plakat-plakat penghargaan yang tersusun rapi di dalam rumahnya.

“Sepertinya beliau sudah banyak meraih prestasi,” gumam hatiku kagum.

Bagiku, menemui seorang kiyai pengasuh pondok pesantren Al-Qur’an bukanlah perkara biasa, aku malu bertemu Kiyai, apalagi beliau adalah seorang Hafizd. Entah kenapa, aku menganggap bahwa Kiyai adalah seorang yang memiliki mata bathin yang di anugerahi Tuhan yang bisa menembus dan mengetahui masa lalu seseorang yang dilihatnya. Makanya aku lebih banyak menunduk saat beliau duduk bersama, karena hal itu juga yang selalu diajakan di pesantren Abdussalam, tata krama, sopan santun, adab dan akhlak ketika mengahadap seorang Kiyai, Guru dan orang di hormati.

“Sudah pernah menghafal Al-Qur’an?”

“Iyaa Kiyai”

“Sudah berapa Juz?”

“Sepuluh Juz.”

Suaraku gemetar. Kepalaku masih menunduk, kalaupun mendongak, hanya berani memandang tasbih yang berputar ditangan Abi Farizi.

“Dulu pernah pesantren dimana?”

Aku tak tahu bagaimana merangkai kalimat yang pas, santun, dan tentu singkat.

“Pesantren Abdussalam di Pontianak.”

Aku terdiam, dan masih dalam tundukan.

Setelah kakak menjelaskan dan menitipkanku di pesantren ini, kakak juga memintakan doa agar aku bisa betah dan mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat.

“Nanti jadwal setoran hafalannya ba’da subuh disini ya!” Ucap beliau menjelaskan.

Seorang Khodim (Baca: Pendamping) Kiyai mengantarkanku ke kamar yang di khususkan untuk para penghafal Al-Qur’an.

Rabu, 26 April 2017

Perihal #GombalinAhok






Sumber: 


Hujan begitu deras mengguyur ibu kota sore ini, driver ojek online pun sepertinya juga tak mengindahkan para penumpang, otak jahatkupun mendukung membuat enggan untuk berangkat kuliah.

Beberapa menit kemudian dapatlah driver yang mau mengantarku ke stasiun tanah abang.

"Ah nanti bakal lewat depan Balai Kota, aku ingin memastikan kebenaran karangan bunga untuk Pak Ahok yang banyak diberitakan hari ini", celoteh dalam hatiku ditengah perjalanan.

Dan ternyata benar, disepanjang jalan Medan Merdeka Selatan itu dipenuhi dengan karangan bunga.
Aku coba untuk mencari celah memastikan tulisan pada karangan bunga tersebut untuk siapa.

"Wah kok banyak sekali karangan bunga disini pak?, Tanyaku pada driverku.

"Itu ucapan selamat buat pak anis mbak"

"Ah bukan pak, itu ucapan terimakasih untuk Pak Ahok" sanggahku membenarkan apa yang telah aku lihat.

Terimakasih Pak Ahok atas kerja kerasnya membangun Jakarta ; Ibu-ibu Majlis Ta'lim Assa'adah
Pak Ahok We Love You ; PT. Sup***
Terimakasih Pak Ahok & Djarot atas Peluh Keringat yang Tercurah untuk Jakarta ; Dari kami yang patah hati dtinggal saat lagi sayang-sayangnya.

Kira-kira begitulah sekilas yang kubaca ditengah perjalananku menuju stasiun tanah abang.

"Banyak sekali ya yang bersedih terhadap kekalahan pak Ahok, ucapku dengan nada berdecak kagum melihat bunga-bunga mawar disepanjang jalan.

"Ah itu dukungan bohongan mbak, itu setingan. Lontar driver gojekku yang ternyata menyanggah dengan pernyataanku sebelumnya.

"Tapi bapak merasakan juga kan perubahan Jakarta yang lebih baik?

Iya sih mbak, tapi Ahok bukan cuma salah kata mbak, dia itu di suruh untuk melecehkan ayat Qur'an.
Ahok itu sengaja mbak dikalahkan, itu semua permainan PDIP, lanjutnya menjelaskan.

Macet dan gerimispun menjadi pelengkap menambah kekhawatiranku telat masuk kuliah, hingga membuatku enggan untuk berkomentar.

Sampailah aku di krl tujuan Tanah Abang - Pondok Ranji, dan beruntung kali ini bisa duduk sembari membaca buku untuk bahan materi hari ini.

"Eh bu wind kirim dong foto yang tadi", komentar ibu-ibu setengah baya yang duduk disampingku.

"Iya nanti saya kirim fotonya, ternyata banyak juga ya yang mengirimkan karangan bunga untuk Pak Ahok, padahal dia kalah.

Eh bu! Udah pernah ke kalijodo gak?

"Belum sempat jeng, katanya sudah tidak bersih lagi ya?"

"Iya bu, sudah dipenuhi sama pedagang jalanan, tuh kan liat saja bu Jakarta bakal lebih buruk lagi dipimpin sama pak Anis."

Sebagai Mahasiswa yang manis aku mencoba untuk meluruskan yang di bicarakan oleh ibu-ibu yang duduk disampingku itu.

"Bu... Tidak boleh pesimis begitu, Pak Anis belum juga dilantik, masih terlalu pagi untuk menagih janji-janji manisnya.

Tapi mbak, dia itu jadi Mendikbud aja dipecat, ya gimana mau mengurusi Jakarta yang begitu banyak PR nya ini?

"Kan butuh waktu bu untuk mewujudkannya, menepati janji itu tidak mudah bu, butuh usaha dan perjuangan, tapi kalau dia pura-pura lupa sama janjinya, ya pasti dia akan menjadi mantan yang buruk untuk dikenang".

"Hahahahahahaa....

"Mbak pernah jadi korban janji siapa? Kok bahasanya puitis sekali?",

Sesaat lagi anda akan tiba di Stasiun Pondok Ranji.

Peringatan dari Commuter Line mengingatkan bahwa tujuanku sudah tiba.

By the way, ada yang bisa jawab atau berkomentar dari ceritaku ini??

Yuuukk mari kita tertawa saja, jangan dibawa pusing.

Jumat, 21 April 2017

Kartini dan Rumah Literasi


Subuh tadi aku terbangun oleh deringan handphone, ternyata ibuku yang menelfonku.

"Selamat ulang tahun nak, mama hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu"

Ya, ibuku memang selalu mengingat hari lahirku yang berbarengan dengan anak-anak dikampung yang memakai kebaya, 
yang mereka sebut dengan "Kartinian".

Ibuku kembali menceritakan masa kecilku, dan hari ini kembali membuatku teringat sama Almarhum kakekku yang selalu mengirimkan uang jajan lebih ketika di pesantren sebagai hadiah ulang tahunku.

"Mama hanya berharap semua impian dan niat baikmu tercapai".

Kudengar begitu lirih dan penuh keyakinan dari suaranya yang parau..

Ah, semua bayangan masa kecil itu selalu menjadi kenangan visual di hari lahirku.

Saat pagi itu, 15 tahun yang lalu aku sudah di dandani dengan cantik dengan menggunakan pakaian kebaya oleh ibuku, meskipun ibuku hanya lulusan SD, tapi ibu selalu memantrai aku dengan penyesalannya karena lebih memilih dijodohkan dan menikah.

Di kampungku memang  setiap anak perempuan yang sudah beranjak remaja kerapkali dipaksa untuk menikah, seperti sudah menjadi tradisi, perempuan itu dianggap menjadi anak dare yang tidak laku atau perawan tue, jika di usia 19 tahun belum menikah.

"Nak teruslah sekolah, jangan pernah lelah, jangan seperti ibu yang hanya lulus Sekolah Dasar"

Ucapnya ketika itu sembari membereskan sanggulan rambutku.

Pada tanggal 21 April setiap tahunnya yang di peringati sebagai hari kartini, namun aku juga kerap kali menanyakan perihal ibu kartini dan siapa perempuan yang lagunya selalu dinyanyikan di sekolah itu?

Yang aku tahu ibu kartini itu adalah putri sejati yang harum namanya, tapi tidak tahu siapa sebenarnya dia? Dan punya jasa apa hingga setiap tahun namanya selalu dirayakan.

Kemudian, aku pun mempelajari sosok seorang Kartini, Dari berbagai sumber yang ku baca R.A Kartini itu adalah seorang perempuan pelopor emansipasi wanita yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah. 

Beliau banyak membaca surat kabar, buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, dan majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya. 

Dalam buku yang berjudul “ Habis Gelap Terbitlah Terang “ berisi tentang surat-surat yang Raden Ajeng Kartini kirim kepada sahabat-sahabatnya yang tinggal di Belanda. Dalam surat tersebut, Kartini menceritakan isi hatinya, cita-cita, dan harapannya untuk memajukan kaum wanita Indonesia agar tidak terbelenggu oleh adat.

Juga terdapat sebuah opini yang ditulis oleh Vissia Ita Yulianto di Jakarta Post pada 21 April 2010 silam, ia berpendapat bahwa pergeseran sosok Kartini dari seorang pejuang emansipasi perempuan ke seorang putri sejati adalah salah satu alasan utama sebagian besar publik melupakan apa yang seharusnya dirayakan saat hari Kartini. 

Yakni, bahwa Ibu Kartini adalah seseorang yang mengambil langkah pertama untuk memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, walaupun pada akhirnya Kartini pun terpaksa memotong singkat pendidikannya untuk menikah. 

Lebih mengenal sosok Kartini sebagai pejuang perempuan yang ingin menuntut ilmu setinggi tingginya, sejujurnya aku juga mempunyai keinginan yang sama, yaitu keluar dari sebuah tradisi dari kampungku, dan aku ingin menjadi seorang perempuan yang kelak bisa memakai toga.

Sebuah cita-cita yang teramat sederhana, namun itu sebuah impian yang sangat berat ketika itu.

Namun sepanjang tahun apakah Kartini akan selalu kita maknai dengan berkebaya?

Sejatinya banyak hal biasa, namun sangat luar biasa jika kita belajar dari sejarah seorang kartini, Lahirnya hari Kartini tak dapat dipungkiri tercetus dari kedekatan seorang Kartini dalam budaya literasi. 

Keseharian Kartini tidak lepas dengan buku-buku, dan kegiatan tulis menulis lewat surat-suratnya yang dapat kita nikmati hingga kini. Ia seperti bersepakat dengan apa yang dikatakan Pram “Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama tidak menulis ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah.” Spirit literasi itulah yang menjadi rumah intelektualitas dan energi perjuangan seorang Kartini yang seharusnya diadopsi oleh para perempuan yang hidup di masa kini.

Membaca dan menulis ibarat kendi, apa yang kita tuangkan itulah yang akan terbagi. Mungkin masih teramat sulit menjadi kaum perempuan yang meliterasi ditengah era modernis dan digital ini, masih banyak issu pelecehan seksual, paham radikalisme yang notabene banyak di serap oleh kaum perempuan, dan dengan mudahnya mengkonsumsi berita-berita hoax di dunia maya, Perempuan dalam literasi adalah bagian penting untuk menjadi perempuan yang cerdas untuk melahirkan generasi baru dari rahim agungnya, terlebih dengan tugasnya sebagai "al ummu madrasatul 'ula".

Lahirnya keterbukaan di era digital ini ditandai dengan semakin mudahnya membagikan apapun di sosial media, menjadi catatan penting kembali lahirnya budaya Patriarki di era sekarang ini.

Oleh karena itu tantangan utama Kartini di zaman millenial yang serba kekinian ini salah satunya adalah melawan dan membentengi diri dari imajinasi-imajinasi Patriarki.

Tak hanya sampai disitu, perempuan “millenial” pun nyatanya mengalami hangatnya perdebatan, misal "Kalau perempuan itu, ya nyuci pakaian dan piring".

Kamu tau bagaimana rasanya menjadi seorang perempuan yang dilahirkan di sebuah desa penganut paham "di dapur, di sumur, dan dikasur" ?


"Perempuan itu tak usahlah nak pegi sekolah tinggi-tinggi, ape agi jaoh-jaoh, belaki yak, nanti pon kerjenya di dapok",

artinya perempuan itu tidak usah berpendidikan tinggi, apalagi jauh, menikah saja, kelakpun kerjanya di dapur. 

Kalimat itu seakan sudah menjadi mantra di desaku, tapi setidaknya saat ini aku bisa melawan mantra itu sejak 15 tahun silam, sejak pertama meyakinkan kedua orang tuaku untuk melanjutkan kuliah di tanah jawa, aku harus dihadapkan dengan sebuah pilihan menuruti kata nenekku untuk menikah atau membantahnya dan mengikuti suport dari kakekku untuk meraih mimpiku memakai togak.

Bahkan aku tidak pernah tahu bagaimana aku akan dapat membiayai kuliah, sedangkan kakek dan nenekku sudah sepuh, ia sudah tak sekuat dulu ketika usaha karetnya cukup pesat dan warungnya begitu ramai pengunjung.

Tekadku pun tak ingin lagi menjadi anak yang selalu dimanjakkan oleh mereka, aku ingin jadi anak yang mandiri, dan ternyata keinginanku sejalan dengan restu Semesta.

Hingga akhirnya mereka meninggalkanku di dunia ini untuk selamanya, yang kini hanya ibu kandungku menjadi satu-satunya motivasi dan vitamin kehidupanku.


Sebuah drama dan sketsa-sketsa peristiwa yang akan menjadi motivasi diriku bahwa perempuan berhak untuk berpendidikan tinggi, perempuan harus cerdas, pintar, berwawasan luas, dan perempuan yang mampu mengukir sejarah terindah dalam hidupnya.

Kodratku sebagai perempuan terkadang menuntutku untuk menjadi sempurna, pandai mengurus rumah, pandai bersosialisasi, pandai mengasuh anak, pandai mengurus suami dan masih banyak lainnya.

Iya, aku tahu itu tidaklah mudah.

Setidaknya aku sedikit malu dengan tanggal lahirku dan pesan dari seorang kartini “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
Untuk para perempuan, kita adalah pemegang ujung tombak kemajuan bangsa dan negara ini, karena dari kitalah kelak akan lahir generasi-generasi cemerlang.

"Kelar studi Mastermu, calonnya diajak ke rumah ya nduk!! 

tegas ibuku tanpa spasi, dan akhirnya kita tertawa bersama-sama.

Selamat hari kartini, dan selamat ulang tahun untukku…


Senin, 10 April 2017

Tujuh Tahun Penantian, Inilah Pesta yang Harus dirayakan


Untukmu, seseorang yang yang pernah ku panggil sayang..


Hai, bagaimana kabarmu? ku yakin pasti kamu baik-baik saja..
Maaf aku tak bermaksud mengusik kehidupan barumu, mungkin aku hanya ingin menyalurkan hobiku di detik terakhir sebelum hatiku benar-benar menghapusmu.

Oia ku dengar kemarin kau melangsungkan akad nikah dengan wanita pilihanmu, selamat ya! Aku turut bahagia, ku sematkan doa terbaik mungkin untuk terakhir kalinya ku ucap dengan lirih menyebutkan namamu di hadapan Tuhan.


Orang bilang, perpisahan adalah awal sebuah perjalanan hidup yang lebih baik, lebih indah. Keindahan hidup seperti apakah yang mereka bayangkan? Bagaimana hidup bisa lebih indah padahal hal terbaik yang pernah ada di hidupku adalah dirimu?

Tapi itu dulu, sebelum Tuhan menunjukkan dan mengabulkan semua pintaku. tidak berguna juga aku simpan semua bingkaian kelam yang menyelip di antara ritme dan citraannya itu.

Kau tahu apa yang sedang terjadi di sini? Jujur, aku masih berusaha untuk melupakan semua bingkaian yang isinya adalah cerita, kenangan, harapan dan janji-janjimu yang sudah kita rajut bersama selama 7 tahun yang terpisah oleh jarak dan ruang.

Mungkin aku salah satu perempuan di belahan tata surya ini yang tidak mudah percaya dengan ucapan manis seorang lelaki yang sedang dimabuk asmara, tapi tidak denganmu, bodohnya aku yang menganggap semua ucapanmu adalah keyakinan dan kepercayaan, tapi kau tak perlu khawatir, aku bukan tak bisa melupakanmu, ataupun untuk menyakiti siapapun, aku hanya ingin memastikan menggugurkan semuanya itu.

Aku berusaha memahami bahwa kenyataan seringkali berpihak pada apa yang kita takutkan, bukan apa yang kita hindari. Perjumpaan yang telah dipersiapkan dengan baik kadangkala menghadapi kenyataan yang kejam dan sulit diterka. Ia bernama perpisahan dan kita menuduhnya sebagai pengacau rencana.

Kita pernah melalui kerasnya mempertahankan sebuah perasaan yang kita jaga bersama, aku pernah beberapa kali menolak mereka yang menawarkan kehidupan, aku lebih memilih mempertahan janjimu untuk hidup bersama, dan aku bertahan menunggumu.

Dan aku selalu berusaha meyakinkan kedua orang tuaku bahwa kamu pantas untuk di perjuangkan hingga akhir hayatnya pun aku masih sempat meminta restu kepada mereka, lagi-lagi hanya untuk sebuah perasaan yang kita jaga.

Aku menerima begitu banyak kelebihan dan kekuranganmu, hingga detik akhir kau memutuskanku, kau tetap orang yang baik dimataku.

Kamu ingat ketika menceritakan bahwa ibumu selalu bercerita tentang seorang perempuan yang indah suaranya dan perempuan itu adalah aku?

Kau pernah bilang, jika kau tak bisa hidup denganku, kau akan pergi jauh dari kotamu, dan menjadi orang gila yang melanglang dijalanan, aku berharap semoga itu tidak pernah terjadi hari ini.

Aku masih mengingat ketika malam kau datang dari jauh hanya untuk menemuiku, kau rela menungguku di tengah derasnya hujan badai hingga mentari terbit.

Pernah ada jalan yang lebih sulit dari itu, Pernah ada bebatuan yang menghantam lebih keras, pernah ada duka yang tak kunjung reda dari semua itu.

Satu hal yang ku pegang teguh dari sekian janjimu, "aku akan menikahinya setelah aku selesai kuliahku" itu yang kau ucapkan di depan kakakku, aku membantumu ketika kau kebingungan dengan persyaratan/biaya yang harus kamu penuhi demi selesainya studimu, dan aku masih menunggumu..

Kita pernah menikmati suara kicauan burung-burung yang riuh memeriahkan suasana alun-alun bandung, menikmati semangkok sop buah yang disajikan dengan dinginnya es dan susu.

Sepanjang kegelapan dan gemerlap indahnya sungai Kapuas yang kita habiskan bersama dengan alunan music anak jalanan yang sesekali membuat kita terusik, tertawa bersama.
Kau tau bagaimana perasaanku ketika itu? Aku begitu bahagia.

Ah! itu hanya setitik saja yang mungkin tidak bisa aku tuliskan dengan sempurna semuanya dalam tulisan ini.
Tak ada yang lebih menyesakkan selain dari kesetiaan yang dibalas penghianatan.

Tapi ini bukan negeri dongeng, atau novel yang ku gemari dimana kisah mereka akan berakhir bahagia bersama, dan ini ku sebut bukanlah sebuah penghianatan.
Tapi inilah jawaban dari sebuah penantianku..

Mungkin apa yang kita perjuangkan dan anggap benar adalah hal yang percuma. Kita berharap berjumpa dengan sesuatu yang sesuai kehendak dalam rencana yang pernah kita semai bersama. Kita busaha dan terus berjuang. Tanpa menyadari bahwa perjuangan sejatinya tidak tumbuh untuk memenangkan apapun. Selalu ada yang selesai sebelum berakhir.

Seringkali aku meminta kepastian kepada Tuhan, dan Dia mengabulkan, hingga akhirnya aku menemukan penjelasan perihal kenyataan bahwa satu-satunya hal yang tangan kita sanggup genggam hanyalah sebuah takdir.

Hidup ini memang seringkali memaksa kita untuk memilih, dan benar, hidup itu adalah pilihan. Akan ku ukir bait kata-kata sendumu menjadi kalimat-kalimat yang harus mengakhiri kisah hatiku.

Aku tidak bermaksud untuk mengenangnya hingga menyentuh inti jantungmu untuk membawamu kembali bersama menyelami ingatan kau dan aku, sungguh itu tak akan aku lakukan.

Hari ketika kamu memutuskan untuk berpisah, aku berkali-kali meyakinkan diri bahwa aku tidak sedang melakukan kesahalan untuk disesali di kemudian hari.

Itu beberapa bulan yang lalu. Saat ini, saat menulis catatan ini, aku tahu bahwa ternyata yang telah kita putuskan waktu itu adalah sebenar-benarnya tindakan. Kau berbahagia meninggalkanku dan menikah dengan perempuan lain, aku juga jauh lebih berbahagia dengan kebebasan hati, studi masterku, dan  dunia yang ku tekuni hari ini.

Kita perlu bersyukur karena telah memutuskan untuk tidak bersama.

Terimakasih banyak atas kebahagiaan cinta selama 7 tahun, selamat berbahagia dengan perempuan pilihanmu.

Dan untuk perempuanmu, semoga kau berhasil membahagiakannya.

Sabtu, 01 April 2017

Persembahan Jogja Hip Hop Foundation "Sedulur"

 Sumber foto

Sebuah karya persembahan anak bangsa yang sangat kreatif menayangkan sebuah video music dari lagu berjudul ‘Sedulur’ yang dinyanyikan oleh Jogja Hip Hop Foundation, menggunakan bahasa Jawa. 

Dengan Klip yang bagus, juga arti dari lirik lagunya sangat menyentuh.


Perbedaan, memang sudah menjadi ciri dan keragaman di Indonesia. Mulai dari agama, suku, kebudayaan, dan lain-lain. Walau begitu, perbedaan tidak lantas membuat kita terpecah, karena kita semua bersaudara.

Video yang diunggah ke situs Youtube oleh pemilik akun Marzuki mohamad pada 24 Desember 2016 ini telah ditonton 413.335 kali, dan di sukai sekitar 7.951 orang pengguna situs.

Ingin tahu lagunya? Yuk, baca liriknya dan tonton videonya!





Hoooo
Hoooo
Hoooo
Hoooo

Awake dewe kabeh sedulur
Nyawiji siji ing guyub lan rukun
Tansah ngajeni lan ngopeni
Gugur gunung hanjaga pakerti

Sedulur sedulur
Aja dha udur yo sing akur

Sedulur sedulur
Welas asih padha ditandur

Asah tanpa amarah
Asih tanpa pamrih
Asuh supaya tuwuh
Pasedulurane kukuh

Sing wuta dituntun
Yo dha padha mlaku bareng
Sing lempoh dijunjung
Merga jagade peteng

Yen liyane ngumbar angkara
Ben dhewe milih nyebarke tresna

Jo dipikir, jo, jo, dipikir
Warna kulit agama, guyub rukun tepaslira

Yo dho mikir, yo, yo, dho mikir
Crah gawe bubrah, rukun gawe sentosa

Sedulur sedulur
Aja dha udur yo sing akur

Sedulur sedulur
Welas asih padha ditandur

Menang dadi areng
Kalah dadi awu
Marang sedulur
Rasah dha padu

Ora sanak - ora kadang
Yen mati melu kelangan
Agegaman kamanungsan
Migunani tumraping liyan

Bedha guru aja nesu
Bedha bapa ora papa
Sing penting tunggal tinemu
Bedha iku kodrate menungsa

Awake dewe kabeh sedulur
Nyawiji siji ing guyub lan rukun
Tansah ngajeni lan ngopeni
Gugur gunung hanjaga pakerti

Sedulur sedulur
Aja dha udur yo sing akur

Sedulur sedulur
Welas asih padha ditandur