Jumat, 01 April 2016

Desa itu bernama Dusun Limau



Ketika pagi rumah kami selalu disinari secara langsung oleh matahari dengan pemandangan sungai kapuas..
Sungai kapuas adalah sungai yang sangat panjang, lebarnya bisa mencapai 600 meter dan dalamnya ketika pasang bisa lebih dari 15 meter. Sungai ini terlihat tenang namun sebenarnya lumayan deras dan menghanyutkan.
Yaah! rumah kami memang berada ditepi sungai kapuas, dengan bangunan yang cukup tinggi yang semuanya berasal dari kayu belian. Konon kayu belian ini sangat awet meskipun terendam air hingga puluhan tahun.
Kami memang hidup dengan berbagai keberagaman agama, suku dan adat istiadat.
Di desaku ini tidak cukup banyak seorang ustazd yang mengajar ngaji di musholla. Sehingga untuk belajar mengaji setiap sore aku harus menempuh perjalanan sepanjang 4 km ke desa sebelah dengan berjalan kaki, dan malamnya harus menginap dirumah uwak atau dirumah teman-temanku. Setelah subuh aku harus segera pulang karena harus sekolah di SDN 04 desa puguk.
Setiap berangkat ke sekolah, ketika melewati rumah orang yang beragama katholik dan tionghoa tak jarang aku selalu bertemu dengan si kubi (nama anjing). Sebelum nenek ku melarang dan mengharamkanku untuk menyentuh anak anjing itu aku pernah sekali menegelus-elus kepalanya, tapi karena aku masih ingat ketika Denis melaporkanku karena menyentuh anak anjing itu sontak nenekku langsung memberikanku hukuman dimandikan secara paksa dengan menggunakan air yang bercampur debu itu, aku jadi tak berani untuk sekadar memanggilnya apalagi menyentuh si kubi itu lagi.
Disekolah aku sangat lancar berbahasa cina dan dayak karena teman-temanku sering mengajariku bahasa mereka, bahkan ketika hari minggu aku sering ikut temanku Ninis Ariska yang beretnis tionghua dan katolik itu untuk menemaninya ke Gereja, selama melakukan ritualnya didalam gereja aku, anggi dan tika yang beragama islam hanya menunggu diluar gereja sambil menghafalkan lirik lagu-lagunya penyanyi junjungan kami Siti Nurhaliza.
Ninis pun tak jarang ikut ke masjid meskipun ia hanya menemani untuk makan mie remes di halaman mesjid ketika orang-orang sedang sholat tarawih.
Yah kami berempat memang berteman sangat akrab sejak kecil, selain kita satu kelas, rumah kita yang berdekatan yang membuat kita selalu bermain bersama. Tak jarang kita selalu jadi penari dan penyanyi cilik melayu di acara-acara walimah di desaku.
Ketika hari raya idul fitri, sebelum berangkat ke masjid untuk sholat iedul fitri, nenekku sibuk menyiapkan makanan dan menyuruhku untuk mengantarkannya ke rumah tetangga juga ke rumah yang non muslim.
Begitu juga ketika menjelang nyepi dan natal tak jarang mereka selalu mengirim angpau atau parcel kerumahku.
Aku juga pernah menyaksikan acara adat dayak "naik dangau" yang diadakan dua tahun sekali.
Aku juga sering ikut menghias pohon natal dirumah ninis.
Dan betapa aku sangat bahagia pernah hidup di desa yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dalam beragama. Desa yang sangat damai, kekompakan untuk bergotong royong membersihkan desa, saling membantu ketika ada acara.
Ah!! Aku sangat rindu kampung halamanku..
Aku sangat bersyukur dibesarkan oleh kakek dan nenek yang tak pernah menyuruhku harus begini, harus begitu. Dan tak pernah melarangku untuk berteman dengan siapapun. tapi bqeliau sangat keras ketika aku ingin bolos mengaji.
Tidak banyak! Setelah lulus SD aku dimasukkan ke pesantren.
Dan aku sadar bahwa keyakinan itu ada di dalam lubuk hati paling dalam, dan tak seorang pun yang bisa menghukumi yang ada di dalamnya.
Aku sangat senang membaca arti dari Surah Maryam yang menceritakan kelahiran Nabi Isya as. Nabi yang juga harus dimuliayakan oleh umat islam.
Merry christmas buat teman-temanku sejak kecil.

Menata Sandal Kiai




Setiap shalat berjamaah di masjid hampir seluruh santri yang memiliki kebiasaan ini, yaitu berebut menata sandal kiyainya agar ketika turun dari masjid kiyai langsung memakainya tanpa harus membalik atau mencari-carinya yang bercampur dengan sandal para santri.
Hal itu yang selalu dilakukan sejak KH. Hasyim Asy'ari menjadi santri di pesantren wonokoyo probolinggo, setiap pesantren yang pernah di singgahi beliau selalu melakukan hal itu.
Sejak menjadi santri di pesantrennya KH. Sholeh Darat, di semarang, beliau semakin berkhidmat dan berbakti kepada kiyainya.
Tradisi ini kerap di sebut sebagai "ngalab berkah" atau mencari berkah.
Hingga saat ini tradisi ini masih menjadi amalan santri yang ingin mendapatkan berkah. Karena dipercaya ketika di zaman Rasulullah Muhammad saw ada seorang anak kecil yang berusia belasan tahun bernama Salman, ia selalu datang lebih awal ke masjid sebelum Nabi Muhammad datang, setelah Nabi masuk ke masjid, ia pun segera bergegas merapikan dan membalik posisi sandal Rasulullah. Hal itu dilakukan setiap hari, hingga membuat Nabi Muhammad penasaran.
Suatu ketika saat masuk mesjid, Rasulullah sengaja sembunyi untuk melihat siapa orang yang mengubah letak sandalnya, dilihatlah Salman yang berbuat demikian, Nabi kemudian mendoakan Salman agar kelak setelah dewasa menjadi orang yang alim dalam ilmu fiqih dikalangan Ulama.
Mungkin itu alasan yang selau dilakukan beliau Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari (Pendiri Nahdlatul Ulama) ketika dipesantren dulu.
Hingga saat ini selalu menjadi tradisi atau amalan yang tak pernah terlupakan oleh santri nusantara demi keberkahan dan kebaktian yang didapat dari bakti yang tulus.