Jumat, 21 April 2017

Kartini dan Rumah Literasi


Subuh tadi aku terbangun oleh deringan handphone, ternyata ibuku yang menelfonku.

"Selamat ulang tahun nak, mama hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu"

Ya, ibuku memang selalu mengingat hari lahirku yang berbarengan dengan anak-anak dikampung yang memakai kebaya, 
yang mereka sebut dengan "Kartinian".

Ibuku kembali menceritakan masa kecilku, dan hari ini kembali membuatku teringat sama Almarhum kakekku yang selalu mengirimkan uang jajan lebih ketika di pesantren sebagai hadiah ulang tahunku.

"Mama hanya berharap semua impian dan niat baikmu tercapai".

Kudengar begitu lirih dan penuh keyakinan dari suaranya yang parau..

Ah, semua bayangan masa kecil itu selalu menjadi kenangan visual di hari lahirku.

Saat pagi itu, 15 tahun yang lalu aku sudah di dandani dengan cantik dengan menggunakan pakaian kebaya oleh ibuku, meskipun ibuku hanya lulusan SD, tapi ibu selalu memantrai aku dengan penyesalannya karena lebih memilih dijodohkan dan menikah.

Di kampungku memang  setiap anak perempuan yang sudah beranjak remaja kerapkali dipaksa untuk menikah, seperti sudah menjadi tradisi, perempuan itu dianggap menjadi anak dare yang tidak laku atau perawan tue, jika di usia 19 tahun belum menikah.

"Nak teruslah sekolah, jangan pernah lelah, jangan seperti ibu yang hanya lulus Sekolah Dasar"

Ucapnya ketika itu sembari membereskan sanggulan rambutku.

Pada tanggal 21 April setiap tahunnya yang di peringati sebagai hari kartini, namun aku juga kerap kali menanyakan perihal ibu kartini dan siapa perempuan yang lagunya selalu dinyanyikan di sekolah itu?

Yang aku tahu ibu kartini itu adalah putri sejati yang harum namanya, tapi tidak tahu siapa sebenarnya dia? Dan punya jasa apa hingga setiap tahun namanya selalu dirayakan.

Kemudian, aku pun mempelajari sosok seorang Kartini, Dari berbagai sumber yang ku baca R.A Kartini itu adalah seorang perempuan pelopor emansipasi wanita yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah. 

Beliau banyak membaca surat kabar, buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, dan majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya. 

Dalam buku yang berjudul “ Habis Gelap Terbitlah Terang “ berisi tentang surat-surat yang Raden Ajeng Kartini kirim kepada sahabat-sahabatnya yang tinggal di Belanda. Dalam surat tersebut, Kartini menceritakan isi hatinya, cita-cita, dan harapannya untuk memajukan kaum wanita Indonesia agar tidak terbelenggu oleh adat.

Juga terdapat sebuah opini yang ditulis oleh Vissia Ita Yulianto di Jakarta Post pada 21 April 2010 silam, ia berpendapat bahwa pergeseran sosok Kartini dari seorang pejuang emansipasi perempuan ke seorang putri sejati adalah salah satu alasan utama sebagian besar publik melupakan apa yang seharusnya dirayakan saat hari Kartini. 

Yakni, bahwa Ibu Kartini adalah seseorang yang mengambil langkah pertama untuk memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, walaupun pada akhirnya Kartini pun terpaksa memotong singkat pendidikannya untuk menikah. 

Lebih mengenal sosok Kartini sebagai pejuang perempuan yang ingin menuntut ilmu setinggi tingginya, sejujurnya aku juga mempunyai keinginan yang sama, yaitu keluar dari sebuah tradisi dari kampungku, dan aku ingin menjadi seorang perempuan yang kelak bisa memakai toga.

Sebuah cita-cita yang teramat sederhana, namun itu sebuah impian yang sangat berat ketika itu.

Namun sepanjang tahun apakah Kartini akan selalu kita maknai dengan berkebaya?

Sejatinya banyak hal biasa, namun sangat luar biasa jika kita belajar dari sejarah seorang kartini, Lahirnya hari Kartini tak dapat dipungkiri tercetus dari kedekatan seorang Kartini dalam budaya literasi. 

Keseharian Kartini tidak lepas dengan buku-buku, dan kegiatan tulis menulis lewat surat-suratnya yang dapat kita nikmati hingga kini. Ia seperti bersepakat dengan apa yang dikatakan Pram “Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama tidak menulis ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah.” Spirit literasi itulah yang menjadi rumah intelektualitas dan energi perjuangan seorang Kartini yang seharusnya diadopsi oleh para perempuan yang hidup di masa kini.

Membaca dan menulis ibarat kendi, apa yang kita tuangkan itulah yang akan terbagi. Mungkin masih teramat sulit menjadi kaum perempuan yang meliterasi ditengah era modernis dan digital ini, masih banyak issu pelecehan seksual, paham radikalisme yang notabene banyak di serap oleh kaum perempuan, dan dengan mudahnya mengkonsumsi berita-berita hoax di dunia maya, Perempuan dalam literasi adalah bagian penting untuk menjadi perempuan yang cerdas untuk melahirkan generasi baru dari rahim agungnya, terlebih dengan tugasnya sebagai "al ummu madrasatul 'ula".

Lahirnya keterbukaan di era digital ini ditandai dengan semakin mudahnya membagikan apapun di sosial media, menjadi catatan penting kembali lahirnya budaya Patriarki di era sekarang ini.

Oleh karena itu tantangan utama Kartini di zaman millenial yang serba kekinian ini salah satunya adalah melawan dan membentengi diri dari imajinasi-imajinasi Patriarki.

Tak hanya sampai disitu, perempuan “millenial” pun nyatanya mengalami hangatnya perdebatan, misal "Kalau perempuan itu, ya nyuci pakaian dan piring".

Kamu tau bagaimana rasanya menjadi seorang perempuan yang dilahirkan di sebuah desa penganut paham "di dapur, di sumur, dan dikasur" ?


"Perempuan itu tak usahlah nak pegi sekolah tinggi-tinggi, ape agi jaoh-jaoh, belaki yak, nanti pon kerjenya di dapok",

artinya perempuan itu tidak usah berpendidikan tinggi, apalagi jauh, menikah saja, kelakpun kerjanya di dapur. 

Kalimat itu seakan sudah menjadi mantra di desaku, tapi setidaknya saat ini aku bisa melawan mantra itu sejak 15 tahun silam, sejak pertama meyakinkan kedua orang tuaku untuk melanjutkan kuliah di tanah jawa, aku harus dihadapkan dengan sebuah pilihan menuruti kata nenekku untuk menikah atau membantahnya dan mengikuti suport dari kakekku untuk meraih mimpiku memakai togak.

Bahkan aku tidak pernah tahu bagaimana aku akan dapat membiayai kuliah, sedangkan kakek dan nenekku sudah sepuh, ia sudah tak sekuat dulu ketika usaha karetnya cukup pesat dan warungnya begitu ramai pengunjung.

Tekadku pun tak ingin lagi menjadi anak yang selalu dimanjakkan oleh mereka, aku ingin jadi anak yang mandiri, dan ternyata keinginanku sejalan dengan restu Semesta.

Hingga akhirnya mereka meninggalkanku di dunia ini untuk selamanya, yang kini hanya ibu kandungku menjadi satu-satunya motivasi dan vitamin kehidupanku.


Sebuah drama dan sketsa-sketsa peristiwa yang akan menjadi motivasi diriku bahwa perempuan berhak untuk berpendidikan tinggi, perempuan harus cerdas, pintar, berwawasan luas, dan perempuan yang mampu mengukir sejarah terindah dalam hidupnya.

Kodratku sebagai perempuan terkadang menuntutku untuk menjadi sempurna, pandai mengurus rumah, pandai bersosialisasi, pandai mengasuh anak, pandai mengurus suami dan masih banyak lainnya.

Iya, aku tahu itu tidaklah mudah.

Setidaknya aku sedikit malu dengan tanggal lahirku dan pesan dari seorang kartini “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
Untuk para perempuan, kita adalah pemegang ujung tombak kemajuan bangsa dan negara ini, karena dari kitalah kelak akan lahir generasi-generasi cemerlang.

"Kelar studi Mastermu, calonnya diajak ke rumah ya nduk!! 

tegas ibuku tanpa spasi, dan akhirnya kita tertawa bersama-sama.

Selamat hari kartini, dan selamat ulang tahun untukku…


1 komentar: